Hukum Pencemaran Nama Baik Pasal

Hukum Pencemaran Nama Baik Pasal

Pasal Pencemaran Nama Baik

Bersosialisasi di era digital baik melalui sosial media seperti facebook, instagram, twitter ataupun melalui aplikasi percakapan instan seperti whatsapp harus memperhatian etika dan norma.

Jika anda melakukan postingan yang merugikan orang lain, baik distatus anda ataupun melalui postingan anda, maka yang bersangkutan dapat melakukan pelaporan pencemaran nama baik yang bisa berujung pidana.

Hal yang paling lazim ditemui adalah penghinaan ataupun penistaan terhadap sebuah individu ataupun organisasi. Ada juga ditemukan kasus penghinaan kepada sebuah instansi ataupun perusahaan. Tentu saja jika pihak yang anda hina tersebut merasa keberatan, maka anda akan dilaporkan ke pihak berwajib dan anda akan dikenakan Pasal Pencemaran Nama Baik

Ketentuan pasal pasal KUHP yang mengatur pencemaran nama baik sebelum adanya media sosial diatur dalam beberapa pasal, yaitu :

1. Pasal 310 KUH Pidana, yang berbunyi : (1) Barangsiapa sengaja merusak kehormatan atau nama baik seseorang dengan jalan menuduh dia melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud yang nyata akan tersiarnya tuduhan itu, dihukum karena menista, dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,-“. (2) Kalau hal ini dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukan pada umum atau ditempelkan, maka yang berbuat itu dihukum karena menista dengan tulisan dengan hukuman penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,-.

2. Pasal 315 KUHP, yang berbunyi “Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap seseorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”

Tetapi kini, Setelah adanya internet maka diatur dalam ketentuan Undang-undang ITE, maka Pasal Pencemaran Nama Baik yaitu :

Pasal 27 ayat (3) UU ITE, yang berbunyi : “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”, Pasal 45 UU ITE, yang berbunyi : (1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Bahwa pencemaran nama baik, yang secara langsung maupun melalui media sosial / internet adalah sama merupakan delik aduan, yaitu delik yang hanya dapat diproses oleh pihak kepolisian jika ada pengaduan dari korban. Tanpa adanya pengaduan, maka kepolisian tidak bisa melakukan penyidikan atas kasus tersebut.

Sedangkan untuk delik aduan sendiri berdasarkan ketentuan pasal 74 KUHP, hanya bisa diadukan kepada penyidik dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak peristiwa tersebut terjadi. Artinya setelah lewat jangka waktu 6 (enam) bulan, kasus pencemaran nama baik secara langsung maupun melalui media sosial / internet tidak lagi bisa dilakukan penyidikan. Oleh karenanya bagi anda yang merasa dicemarkan nama baiknya baik secara langsung maupun melalui media sosial internet harus mengadukannya dalam jangka waktu tersebut.

Selain itu suatu kalimat atau kata-kata yang bernada menghina atau mencemarkan nama baik, supaya bisa dijerat pidana harus memenuhi unsur dimuka umum, artinya jika dilakukan secara langsung harus dihadapan dua orang atau lebih, dan jika melalui media sosial harus dilakukan ditempat yang bisa dilhat banyaka orang semisal wall facebook, posting group, dan lain sebagainya.

Kalimat hinaan yang dikirim langsung ke inbox atau chat langsung tidak bisa masuk kategori penghinaan atau pencemaran nama baik, karena unsur diketahui umum tidak terpenuhi.

Keberlakuan dan tafsir atas Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dapat dipisahkan dari norma hukum pokok dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP. Demikian salah satu pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam putusan perkara No. 50/PUU-VI/2008 atas judicial review pasal 27 ayat (3) UU ITE terhadap UUD 1945. Mahkamah Konstitusi menyimpulkan bahwa nama baik dan kehormatan seseorang patut dilindungi oleh hukum yang berlaku, sehingga Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak melanggar nilai-nilai demokrasi, hak azasi manusia, dan prinsip-prinsip negara hukum. Pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah Konstitusional.

Bila dicermati isi Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE tampak sederhana bila dibandingkan dengan pasal-pasal penghinaan dalam KUHP yang lebih rinci. Oleh karena itu, penafsiran Pasal 27 ayat (3) UU ITE harus merujuk pada pasal-pasal penghinaan dalam KUHP. Misalnya, dalam UU ITE tidak terdapat pengertian tentang pencemaran nama baik. Dengan merujuk Pasal 310 ayat (1) KUHP, pencemaran nama baik diartikan sebagai perbuatan menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum.

Terima kasih atas pertanyaan Anda.

Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Adakah Hukum Pencemaran Nama Baik pada Badan Hukum? yang dibuat oleh Ardi Ferdian, S.H., M.Kn, dan pertama kali dipublikasikan pada 17 Oktober 2022.

Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023.

Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

Pencemaran Nama Baik Terhadap Badan Hukum

Tapi bukan berarti kekosongan norma tersebut mengakibatkan pelaku penghinaan terhadap badan hukum tidak bisa dipidana, karena ada asas curia novit jus atau ius curia novit berarti hakim dianggap mengetahui semua hukum sehingga pengadilan tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili perkara.[3]

Baca juga: Arti Asas Ius Curia Novit

Prinsip ini terkandung dalam Pasal 10 ayat (1) UU 48/2009 yakni pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.

Cara yang dilakukan hakim adalah dengan penemuan hukum, dalam wujud melakukan penafsiran bunyi undang-undang. Interpretasi (penafsiran) adalah salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaidah tersebut diterapkan kepada peristiwanya.

Dengan demikian, agar objek penghinaan dapat ditujukan ke badan hukum, kami berpendapat, hakim perlu menggunakan penafsiran ekstentif, yaitu memperluas makna[4] dari objek kehormatan yang tidak hanya pada diri seseorang tetapi juga pada badan hukum (rechts persoon).

Sepanjang penelusuran kami, terdapat yurisprudensi kasus pencemaran nama baik terhadap badan hukum yaitu dalam Putusan MA No. 183 K/Pid/2010. Dalam putusan tersebut disebutkan bahwa badan hukum bisa menjadi objek pencemaran nama baik (hal. 15).

Putusan MA ini juga menjelaskan bahwa untuk melaporkan adanya tindak pidana pencemaran nama baik yang ditujukan kepada badan hukum, yang wajib melaporkan tindak pidana tersebut adalah Direktur Utama yang dapat mewakili suatu PT (hal. 15-16).

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

[1] Adami Chazawi. Hukum Pidana Positif Penghinaan (Tindak Pidana Menyerang Kepentingan Hukum Mengenai Martabat Kehormatan dan Martabat Nama Baik Orang Bersifat Pribadi Maupun Komunal) Edisi Revisi. Malang: Media Nusa Creative, Malang, Cetakan ke-3, 2020, hal. 288

[2] Adami Chazawi. Hukum Pidana Positif Penghinaan (Tindak Pidana Menyerang Kepentingan Hukum Mengenai Martabat Kehormatan dan Martabat Nama Baik Orang Bersifat Pribadi Maupun Komunal) Edisi Revisi. Malang: Media Nusa Creative, Malang, Cetakan ke-3, 2020, hal. 38

[3] M. Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika, 2016, hal. 81

[4] Adami Chazawi. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2 (Penafsiran Hukum Pidana, Dasar Peniadaan, Pemberatan & Peringanan, Kejahatan Aduan, Perbarengan dan Ajaran Kausalitas). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2021, hal. 12

Terkait pasal pencemaran nama baik, KUHP menerangkan bahwa ada 6 bentuk dan hukuman pencemaran nama baik. Berikut ulasannya.

Merujuk Pasal 310 ayat (1) KUHP, pasal pencemaran nama baik adalah perbuatan dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan suatu hal dengan maksud agar hal tersebut diketahui oleh umum, dan pelakunya diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama 9 bulan dan denda Rp4,5 juta.

Sementara itu, dalam KUHP Baru, pasal pencemaran diatur dalam Pasal 433 UU 1/2023 yang menerangkan bahwa setiap orang yang dengan lisan menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum, dipidana karena pencemaran, dengan pidana penjara paling lama 9 bulan atau pidana denda paling banyak kategori II (Rp10 juta).

Bentuk Pencemaran Nama Baik dalam KUHP dan Pidananya

R Soesilo dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, menerangkan bahwa ada enam bentuk hukum pencemaran nama baik yang dimuat dalam KUHP sebagai berikut.

Bentuk pertama adalah penistaan. Adapun yang dimaksud dengan penistaan adalah pencemaran nama baik berupa penghinaan dengan cara menistakan atau menuduh seseorang telah melakukan perbuatan tertentu dengan maksud agar tuduhan tersebut tersiar. Perbuatan yang dituduhkan tidak harus berupa perbuatan pidana, cukup dengan perbuatan biasa yang mana merupakan suatu perbuatan yang memalukan.

Bentuk kedua adalah penistaan dengan surat. Adapun maknanya adalah apabila perbuatan penistaan tersebut dilakukan dengan media tulisan surat atau gambar.

Tindakan penistaan atau penistaan dengan surat bisa tidak dituduhkan sebagai tindak pidana apabila tindakan tersebut dilakukan untuk membela kepentingan umum atau terpaksa untuk membela diri. Dalam konteks ini, hakim akan mengadakan pemeriksaan; apakah betul untuk membela diri atau penghinaan.

Jika dalam pemeriksaannya apa yang dituduhkan terdakwa tidak benar, terdakwa tidak lagi dapat dikategorikan sebagai perbuatan menista. Namun, dikenakan tindak pidana fitnah.

return generate_breadcrumb();

Terkait pasal pencemaran nama baik, KUHP menerangkan bahwa ada 6 bentuk dan hukuman pencemaran nama baik. Berikut ulasannya.

Pasal pencemaran nama baik bukan hal yang sepele. Tindak pidana ini menimbulkan kerugian bagi korbannya. Dalam KUHP dan UU 1/2023 atau KUHP Baru dimuat ketentuan serta sanksi dari pelanggaran penghinaan atau pencemaran nama baik. Kemudian, jika dilakukan melalui media sosial atau hal yang berhubungan dengan transmisi elektronik, pelakunya dapat dijerat dengan UU ITE.

Definisi Pencemaran Nama Baik

Negara menjamin sejumlah hak asasi manusia terhadap semua warga negara, tidak terkecuali hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi.

Ketentuan ini diatur dalam Pasal 28F UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Namun, demi menjamin bahwa tidak ada persinggungan di antara kebebasan itu, diaturlah sebuah batasan. Salah satu batasan dalam berkomunikasi yang diterapkan adalah tidak boleh ada penghinaan atau pencemaran nama baik.

Penghinaan dan pencemaran nama baik akan mempengaruhi reputasi atau citra seseorang. Dewasa ini, reputasi bukan semata soal baik dan buruknya seseorang dalam tatanan bermasyarakat, namun juga mempengaruhi banyak hal.

Misalnya, mempengaruhi kondisi ekonomi, reputasi yang buruk bisa menghancurkan bisnis; mempengaruhi posisi atau jabatannya, reputasi yang buruk membuat seseorang dianggap tidak layak menempati suatu jabatan tertentu; mempengaruhi profesi seseorang, reputasi yang buruk bisa membuat seseorang kehilangan profesinya, misalnya dokter.

Seperti yag kita ketahui bahwa dalam KUHP terdapat banyak pasal yang mengatur pencemaran nama baik. Melansir dari buku KUHP serta Komentarnya oleh R. Soesilo , terdapat beberapa bentuk hukum pencemaran nama baik, yakni:

Pasal ini membahas tentang tindak pencemaran yang diutarakan secara lisan. Ketika individu terbukti melakukan komponen-komponen pencemaran melalui ucapan, maka yang bersangkutan dapat dijerat dengan pasal ini.

Pasal 310 ayat 1 KUHP menyatakan "Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah."

Pasal ini sering diterapkan pada kasus penghinaan di media sosial atau forum publik, di mana pelaku secara verbal menyebarkan tuduhan yang dapat merusak reputasi korban.

Pasal berikut mengatur tentang tindakan pencemaran nama baik yang dilaksanakan dalam bentuk tertulis. Individu yang mencoreng nama baik pihak lain melalui tulisan bisa dikenai sanksi pasal ini.

Pasal 310 ayat 2 menjelaskan "Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah."

Di era digital, pasal ini juga mencakup pencemaran nama baik melalui media elektronik seperti email, blog, atau platform digital lainnya.

Pasal 311 KUHP mengulas mengenai aksi fitnah yang dilaksanakan oleh seseorang. Tindakan fitnah yang berpotensi merusak reputasi individu lain dapat dikenakan sanksi berdasarkan pasal ini.

Pasal 311 ayat 1 KUHP berbunyi "Barangsiapa melakukan kejahatan menista atau menista dengan tulisan, dalam hal ia diizinkan untuk membuktikan tuduhannya itu, jika ia tiada dapat membuktikan dan jika tuduhan itu dilakukannya sedang diketahuinya tidak benar, dihukum karena salah memfitnah dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun."

Perbedaan utama antara pencemaran nama baik dan fitnah adalah pada unsur pembuktian. Dalam kasus fitnah, pelaku tidak dapat membuktikan tuduhannya dan sudah mengetahui bahwa tuduhannya salah sejak awal.

Pasal 315 KUHP memberikan ketentuan tentang penghinaan ringan yang dilaksanakan seseorang. Definisinya, ketika seseorang menghina atau mengucapkan kata-kata kasar yang menurut pandangan masyarakat termasuk dalam kategori penghinaan, maka hal tersebut dapat memenuhi elemen dari pasal 315.

Pasal 315 KUHP menyatakan "Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap seseorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah."

Pasal ini sering diterapkan pada kasus penghinaan sehari-hari seperti menggunakan kata-kata kasar di tempat umum atau mengirim pesan berisi hinaan langsung kepada korban.

Pasal 317 KUHP menguraikan tentang tindakan memfitnah melalui pengaduan. Definisi memfitnah dengan pengaduan dalam pasal 317 KUHP pada ayat 1 yang berbunyi "Barang siapa dengan sengaja mengajukan pengaduan atau pemberitahuan palsu kepada penguasa, baik secara tertulis maupun untuk dituliskan, tentang seseorang sehingga kehormatan atau nama baiknya terserang, diancam karena melakukan pengaduan fitnah, dengan pidana penjara paling lama empat tahun."

Pasal ini khususnya melindungi masyarakat dari tindakan pelaporan palsu yang sengaja dilakukan untuk menjatuhkan nama baik seseorang di hadapan pihak berwenang.

Pasal ini menjelaskan tentang pencemaran nama baik terhadap individu yang telah meninggal dunia. Perbuatan semacam ini dapat dikenai sanksi sesuai pasal 320 ayat 1 KUHP.

Pasal 320 ayat 1 menetapkan "Barang siapa terhadap orang yang sudah mati melakukan perbuatan yang kalau orang tersebut masih hidup, akan merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau denda paling banyak tiga ratus rupiah."

Pasal ini memperlihatkan bahwa hukum juga melindungi kehormatan orang yang sudah meninggal, dan keluarga almarhum memiliki hak untuk menuntut jika terjadi pencemaran nama baik terhadap orang yang telah meninggal.

Tribratanews.polri.go.id - Jakarta. Polri menyatakan selalu taat dan tunduk kepada aturan hukum yang berlaku mengenai Undang-Undang ITE. Diketahui, perubahan dalam undang-undang tersebut adalah penghapusan pasal pencemaran nama baik.Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen. Pol. Trunoyudo Wisnu Andiko menjelaskan, pihaknya masih akan mengkaji aturan tersebut. Tentunya. Ke depan akan disesuaikan dengan aturan yang berlaku.

Baca Juga: Polri Pastikan Korban TPPO Mahasiswa Magang Jerman Sudah di Indonesia

“Ke depannya kalau betul seperti itu, Polri akan beradaptasi, mengkaji, dan Polri akan patuh pada aturan,” ungkap Karopenmas, Jumat (22/3/24).Di sisi lain, Karopenmas memastikan bahwa penanganan kasus di Polri terkait pencemaran nama baik tidak berlaku surut. Tak dipungkiri, sejumlah kasus pencemaran nama baik masih ditangani Polri.“Tentu apa yang sudah kami lakukan langkah-langkahnya tidak berlaku surut ya,” ujarnya.

Pasal 310 ayat (1) KUHP

Pasal 433 ayat (1) RKUHP

Menurut R. Soesilo, supaya dapat dihukum menurut pasal ini, maka penghinaan itu harus dilakukan dengan cara “menuduh seseorang telah melakukan perbuatan tertentu” dengan maksud agar tuduhan itu tersiar (diketahui oleh orang banyak). Perbuatan yang dituduhkan itu tidak perlu suatu perbuatan yang boleh dihukum seperti mencuri, menggelapkan, berzina dan sebagainya, cukup dengan perbuatan biasa, sudah tentu suatu perbuatan yang memalukan.

Pasal ini kurang lebih memuat pengaturan yang sama dengan Pasal 310 ayat (1) KUHP. Orang yang menyerang kehormatan atau nama baik orang lain secara lisan dengan cara menuduhkan suatu hal agar diketahui umum.

Penistaan dengan surat

Pasal 310 ayat (2) KUHP

Pasal 433 ayat (2) KUHP

Menurut R. Soesilo sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan Pasal 310 KUHP, apabila tuduhan tersebut dilakukan dengan tulisan (surat) atau gambar, maka kejahatan itu dinamakan “menista dengan surat”. Jadi seseorang dapat dituntut menurut pasal ini jika tuduhan atau kata-kata hinaan dilakukan dengan surat atau gambar.

Pasal ini pun memuat pengaturan yang kurang lebih serupa dengan Pasal 310 ayat (2) KUHP. Perbuatan dalam pasal ini adalah untuk pencemaran tertulis dengan tulisan, gambar yang disiarkan, dipertunjukkan, atau ditempelkan di tempat umum.

Apabila pembelaan sebagaimana dimaksud Pasal 310 itu tidak dapat dianggap oleh hakim, sedangkan dalam pemeriksaan ternyata yang dituduhkan oleh terdakwa itu tidak benar, maka terdakwa tidak disalahkan menista lagi, akan tetapi dikenakan Pasal 311 KUHP yaitu memfitnah.

Jadi, yang dimaksud dengan memfitnah dalam pasal ini adalah kejahatan menista atau menista dengan tulisan namun ketika diizinkan untuk membuktikan tuduhannya itu untuk membela kepentingan umum atau membela diri, tuduhannya tersebut tidak dapat dibuktikan atau tidak benar.

Serupa dengan Pasal 311 KUHP, jika orang yang menuduh diberi kesempatan membuktikan kebenaran hal yang dituduhkan tapi tak dapat membuktikannya, ia dipidana karena fitnah.

Pembuktian kebenaran tuduhan hanya bisa dilakukan dalam hal:

Penghinaan seperti ini dilakukan di tempat umum yang berupa kata-kata makian yang sifatnya menghina. R Soesilo, dalam penjelasan Pasal 315 KUHP, sebagaimana kami sarikan, mengatakan bahwa jika penghinaan itu dilakukan dengan jalan lain selain “menuduh suatu perbuatan”, misalnya dengan mengatakan “anjing”, “asu”, “sundel”, “bajingan” dan sebagainya, masuk Pasal 315 KUHP dan dinamakan “penghinaan ringan”.

Penghinaan ringan ini juga dapat dilakukan dengan perbuatan. Menurut R. Soesilo, penghinaan yang dilakukan dengan perbuatan seperti meludahi di mukanya, memegang kepala orang Indonesia, mendorong melepas peci atau ikat kepala orang Indonesia. Demikian pula suatu sodokan, dorongan, tempelengan, dorongan yang sebenarnya merupakan penganiayaan, tetapi bila dilakukan tidak seberapa keras, dapat menimbulkan pula penghinaan.

Penghinaan yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap orang lain baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang yang dihina tersebut secara lisan atau dengan perbuatan atau dengan tulisan yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, dipidana karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori II, yaitu Rp10 juta.[7]

Barang siapa dengan sengaja mengajukan pengaduan atau pemberitahuan palsu kepada penguasa, baik secara tertulis maupun untuk dituliskan, tentang seseorang sehingga kehormatan atau nama baiknya terserang, diancam karena melakukan pengaduan fitnah, dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.

Setiap orang yang mengajukan pengaduan atau pemberitahuan palsu secara tertulis atau meminta orang lain menuliskan pengaduan atau pemberitahuan palsu kepada pejabat yang berwenang tentang orang lain sehingga kehormatan atau nama baik orang tersebut diserang, dipidana karena melakukan pengaduan fitnah, dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV, yaitu Rp200 juta.[8]

Menurut R. Sugandhi terkait Pasal 318 KUHP, sebagaimana kami sarikan, yang diancam hukuman dalam pasal ini ialah orang yang dengan sengaja melakukan suatu perbuatan yang menyebabkan orang lain secara tidak benar terlibat dalam suatu tindak pidana.

Misalnya: dengan diam-diam menaruh suatu barang yang berasal dari kejahatan di dalam rumah orang lain, dengan maksud agar orang itu dituduh melakukan kejahatan.

Setiap orang yang dengan suatu perbuatan menimbulkan persangkaan palsu terhadap orang lain bahwa orang tersebut melakukan suatu tindak pidana, dipidana karena menimbulkan persangkaan palsu, dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV, yaitu Rp200 juta.[9]

Seiring berjalannya waktu, interpretasi hukum terkait pencemaran nama baik telah mengalami perkembangan signifikan. Mahkamah Konstitusi (MK) telah beberapa kali mengeluarkan putusan yang memberikan tafsir baru terhadap pasal-pasal pencemaran nama baik, terutama yang diatur dalam UU ITE.

Salah satu putusan penting adalah Putusan MK Nomor 50/PUU-VI/2008, yang menyatakan bahwa pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE harus ditafsirkan dalam konteks yang sama dengan ketentuan serupa dalam KUHP. Ini berarti bahwa unsur "di muka umum" harus terpenuhi, dan pasal tersebut merupakan delik aduan, bukan delik biasa.

Lebih lanjut, Putusan MK Nomor 78/PUU-XXI/2023 memberikan penafsiran baru terhadap Pasal 310 ayat (1) KUHP. Mahkamah menyatakan bahwa pasal tersebut inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai mencakup perbuatan "dengan cara lisan". Putusan ini bertujuan untuk menyesuaikan ketentuan KUHP dengan perkembangan dalam KUHP baru (UU No. 1 Tahun 2023) yang akan berlaku pada tahun 2026.

Perkembangan interpretasi hukum ini menunjukkan upaya untuk menyeimbangkan perlindungan terhadap kehormatan individu dengan jaminan kebebasan berekspresi yang merupakan hak fundamental dalam masyarakat demokratis.

Pasal Pencemaran Nama Baik

Pasal Pencemaran Nama Baik

Setiap bentuk penghinaan selalu bersifat mencemarkan nama baik dan kehormatan orang.[1] Penghinaan pada dasarnya diatur dalam Pasal 310 KUHP. Namun jika dilakukan di media sosial yaitu dengan cara mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik maka diatur secara khusus dalam Pasal 27A UU 1/2024 yang berbunyi sebagai berikut:

Setiap Orang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dilakukan melalui Sistem Elektronik.

Dalam Penjelasan Pasal 27A UU 1/2024 ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan “menyerang kehormatan atau nama baik” adalah perbuatan yang merendahkan atau merusak nama baik atau harga diri orang lain sehingga merugikan orang tersebut, termasuk menista dan/atau memfitnah.

Namun, patut diperhatikan bahwa Pasal 27A UU 1/2024 tersebut tidak mengatur norma hukum pidana baru, melainkan hanya mempertegas berlakunya norma hukum pidana penghinaan dalam KUHP, sehingga norma dasar penghinaan dalam UU 1/2024 mengikuti norma dalam KUHP.

Informasi yang juga penting Anda ketahui adalah setelah adanya Putusan MK No. 78/PUU-XX1/2023 yang memuat uji materiel terhadap Pasal 310 ayat (1) KUHP, Mahkamah Konstitusi (“MK”) berkesimpulan bahwa Pasal 310 ayat (1) KUHP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai (hal. 358):

Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal dengan cara lisan, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

MK tanpa bermaksud menilai konstitusionalitas Pasal 433 UU 1/2023 yaitu KUHP yang baru mempunyai kekuatan mengikat setelah 3 tahun sejak diundangkan (2 Januari 2026), maka penegasan berkenaan dengan unsur “perbuatan dengan lisan” yang terdapat dalam Pasal 433 UU 1/2023 bisa diadopsi atau diakomodir guna kepastian hukum dalam penerapan ketentuan norma Pasal 310 ayat (1) KUHP (hal. 356).

Baca juga: Bunyi Pasal Pencemaran Nama Baik KUHP Pasca Putusan MK No. 78/PUU-XXI/2023

Dalam norma penghinaan dirumuskan tentang siapa subjek hukum (addressaat norm) atau sasaran yang sebenarnya dituju oleh suatu norma hukum tentang suatu tindak pidana. Addressaat norm Pasal 310 KUHP dapat diketahui dari bunyi pasal “barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang”. Barang siapa (hij die) dalam KUHP merujuk kepada orang perseorangan[2] dan yang diserang pun nama baik orang, sehingga baik Pasal 310 KUHP maupun Pasal 27A UU 1/2024 hanya bisa ditujukan kepada orang atau manusia sebagai subjek hukum (natuurlijk persoon) dan tidak ditujukan kepada badan hukum (rechts persoon).